(dtc/krs) Sumber: detiksport
Kesal rasanya menonton 10 menit terakhir pertandingan antara timnas U-23 vs Jakarta All Stars (JAS) yang diperkuat Radja Nainggolan hari Rabu (19/6) lalu. Saat pemain JAS yang kebanyakan sudah veteran terlihat telah kehabisan nafas, tim yang dipersiapkan untuk SEA Games 2013 tetap saja gagal mencetak gol.
Penonton yang tidak terlalu banyak itu pun mulai meneriaki para pemain timnas dan pelatih RD. Gemas sekali rasanya melihat bagaimana anak asuh Rahmad Darmawan itu memperlihatkan sepakbola yang sangat jauh dari efektif. Berkali-kali peluang emas terbuang sia-sia, berkali-kali pula ruang yang terbuka di jantung pertahanan JAS tidak dimanfaatkan oleh para pemain.
Andik Vermansah dan terutama Rahel Radiansyah yang masuk di babak kedua, kelewat sibuk dan kelewat lama menggiring bola di sisi lapangan. Radiansyah yang masuk menggantikan Irsyad, dan bermain di sayap, berkali-kali terlambat mengirimkan umpan silang. Jikapun akhirnya membuat umpan silang, jarang sekali umpan itu akurat.
Ini problem laten dalam cara bermain di sepakbola Indonesia. Tentu saja banyak sekali kekurangan yang dimiliki para pemain kita. Teknik mengumpan, misalnya, sudah jadi rahasia umum menjadi titik lemah sepakbola Indonesia. Belum lagi jika menyebutkan hobi "menggoreng bola" yang tidak perlu, yang malahan kerap dipertontonkan para pemain yang bahkan berlabel pemain timnas sekalipun.
Sejumlah langganan timnas seperti Andik, M. Ilham, Okto Maniani dan Radiansyah adalah beberapa nama yang sering dikritik karena hobi mereka membawa bola yang sangat jauh dari efektif dan efisien. Greg Nwokolo adalah ekspatriat yang juga sering dikritik terlalu asyik main sendirian. Dalam pikiran iseng saya, barangkali justru karena getol main sendiri itulah makanya Greg akhirnya dinaturalisasi.
Saya bahkan mendapati beberapa lelucon di media sosial tentang para "penggoreng bola" ini. Karena hobinya membawa bola tapi sangat buruk ketika memberi umpan silang atau melakukan percobaan mencetak gol, Okto [kadang juga Andik] pernah saya baca "dibecandain" sebagai "pembalap liar yang tidak pakai helm".
Ini bukan masalah baru dalam sepakbola Indonesia. Dalam buku berjudul Sepakbola Indonesia: Sistem Blok, Total Football, Mencetak Gol, Cattenacio, Kadir Jusuf sudah mengkritik hal ini.
Dalam uraiannya mengenai metode latihan sistem blok yang diperkenalkan oleh Vaclav Jecek di Cekoslowakia, Kadir Jusuf menulis: "Pemain-pemain kita, sadar atau tidak, cenderung bermain cantik tetapi tidak efisien. Mereka seakan-akan lupa bahwa tujuan utama permainan sepakbola adalah mencetak gol. … Di Cekoslovakia, penyakit permainan macam ini disebut Ulicke yang secara harfiah berarti 'sepakbola jalanan'. Tidak jelas apakah di Indonesia ada nama khusus bagi 'penyakit' sepakbola yang juga sudah lama mewabah tersebut. Kami cenderung menamakan dengan 'sepakbola kutak-kutik'."
Kadir Jusuf adalah kolomnis sepakbola yang di masanya punya reputasi bagus. Ketika Wiel Coerver menerbitkan buku legendaris yang banyak dipakai di negara-negara lain, Sepakbola: Program Pembinaan Ideal, Kadir Jusuf yang dimintai menulis kata pengantarnya. Nah, buku Sepakbola Indonesia: Sistem Blok, Total Football, Mencetak Gol, Cattenacio yang mengkritik "sepakbola kutak-katik" itu sendiri terbit pada 1982. Artinya, penyakit sepakbola Indonesia ini setidaknya sudah muncul sejak 31 tahun lalu, atau bahkan lebih lama lagi mewabahnya.
Sepakbola kutak-katik yang memperlakukan lapangan seolah-olah sebagai kuali tempat menggoreng bola itu muncul karena banyak sebab. Salah satu yang menjadi penyebab utamanya adalah jebloknya skill, teknik dan pemahaman para pemain [juga pelatih] terhadap pentingnya pergerakan tanpa bola. Sepakbola akhirnya melulu tentang siapa yang sedang membawa bola. Begitu tidak memegang bola, pekerjaan seolah-olah sudah selesai.
Kurangnya teknik pergerakan tanpa bola ini membuat sepakbola jadi cenderung statis. Pemain terpaku pada posisinya masing-masing. Akibatnya adalah tidak banyak tercipta ruang kosong yang bisa dieksploitasi. Pentingnya pergerakan tanpa bola adalah untuk membuka atau menciptakan ruang. Jika tidak banyak ruang terbuka yang bisa dieksploitasi, maka pemain yang sedang memegang bola akan kebingungan ke mana bola akan dialirkan. Pilihannya jadi terbatas:
- [1] mengirim umpan panjang,
- [2] bola dibawa sendirian,
- [3] melakukan percobaan mencetak gol dari titik yang tidak efektif.
Oke itu absurd.
Penyakit "sepakbola kutak-katik" salah satunya lahir dari buruknya teknik dan pemahaman mengenai pergerakan tanpa bola. Penyakit ini sudah menjangkiti sepakbola Indonesia sejak 30 sampai 40 tahun lalu. Artinya penyakit ini sudah laten dan melintasi setidaknya 5-8 generasi sepakbola [dengan asumsi rata-rata paling lama pemain memperkuat timnas tak lebih dari 5 tahun]. Bahkan generasi termutakhir yang dipersiapkan untuk SEA Games 2013 masih terjangkiti penyakit laten ini.
Betapa ketinggalannya sepakbola Indonesia. Jika kita merujuk Inverting the Pyramid, buku Jonathan Wilson yang menguraikan evolusi taktik sepakbola, sudah lebih setengah abad lalu sepakbola mulai mengenal pergerakan tanpa bola. Wilson mencontohkan saat Hongaria mengalahkan tuan rumah Inggris dengan skor telak 3-6. Saat itu, tulis Wilson, para pemain Hongaria sudah punya kecenderungan meninggalkan posisinya untuk bertukar tempat dengan rekannya guna membingungkan lawan yang ingin melakukan penjagaan.
Sejak itu, evolusi taktik sepakbola banyak didorong oleh cara berpikir bagaimana menciptakan ruang. Total football adalah cara legendaris dalam sejarah sepakbola untuk terus menerus membuka dan menciptakan ruang. Kecenderungan memasang Satu striker murni belakangan ini juga lahir dari hasrat untuk mengeksploitasi ruang di pertahanan lawan oleh para pemain gelandang. Istilah "coming from behind" juga adalah kisah tentang terbukanya ruang yang dieksploitasi oleh pemain yang muncul dari lini kedua.
Paolo Maldini pernah mengatakan kunci kesuksesan AC "The Dream Team" Milan di era Arrigo Sacchi. Katanya, "Sebelum Sacchi datang ke Milan, pertarungan antara dua pemain selalu jadi kunci, tapi bersama Sacchi semuanya adalah tentang pergerakan tanpa bola, dan itulah kunci kami memenangi pertandingan."
Saya berulang kali datang ke stadion untuk mengamati bagaimana para pemain Indonesia ketika tidak sedang memegang bola. Mengamati pergerakan tanpa bola ini hanya bisa dilakukan jika Anda datang menonton langsung ke stadion. Cobalah sesekali datang ke stadion khusus untuk mengamati pemain yang tidak sedang memegang bola. Abaikan sejenak pemain yang sedang memegang bola. Misalnya: jika pemain sayap kanan sedang membawa bola, perhatikan apa dan bagaimana reaksi striker, sayap kiri atau gelandang serang.
Jika hanya menonton di televisi, Anda akan kesulitan memahami bobroknya kualitas pergerakan tanpa bola pemain Indonesia. Televisi cenderung hanya meng-cover pemain yang membawa bola. Hanya saat kamera menggunakan wide-angle saja penonton di rumah bisa menyaksikan apa yang dilakukan pemain sayap kiri ketika pemain sayap kanan sedang membawa bola.
Pengamatan bertahun-tahun yang saya lakukan di stadion ini membuat saya sedikit banyak tahu level pemahaman sepakbola Indonesia mengenai teknik pergerakan tanpa bola. Dalam pengamatan saya, paling banyak rata-rata hanya 3 pemain yang melakukan pergerakan tanpa bola saat ada rekan di dekatnya sedang memegang bola. Pemain lainnya? Piknik di atas rumput.
Kenapa hanya rata-rata 3 pemain yang bergerak? Ini terkait dengan masih belum baiknya pemahaman tentang fungsi pergerakan tanpa bola. Jika pun pemain melakukan pergerakan tanpa bola, seringkali itu dilakukan semata untuk menjemput atau menerima bola. Misal: ketika center-back memegang bola, besar kemungkinan yang bergerak mencari atau membuka ruang adalah para gelandang. Konteks pergerakannya itu membuka ruang untuk dirinya sendiri, belum sampai membuka ruang untuk tim.
Sepakbola adalah permainan tentang dan di dalam ruang. Pergerakan tanpa bola adalah kunci pokok membuka dan menciptakan ruang. Tidak mungkin ada serangan yang efektif tanpa penciptaan atau pembukaan ruang. Alih-alih membuka ruang, "sepakbola kutak-katik" seringkali justru mempersempit ruang itu.
0 komentar:
Posting Komentar